Adakah tempat untuk jurnalisme di media sosial?
Masyarakat semakin menggunakan media sosial sebagai sumber utama berita. Itu juga merupakan panggung untuk opini pribadi dan informasi yang belum diverifikasi. Hal tersebut menjadi tantangan bagi para pengguna medsos untuk mengetahui kebenaran berita yang disebarluaskan.
Topik itu sangat menarik didiskusikan dalam konferensi dua hari diselenggarakan Goethe Institute Indonesia, Kedutaan Besar Jerman Jakarta, Deutsche Welle, dan Project Multatuli pada penghujung tahun 2021. Konferensi menghadirkan pakar-pakar dari Asia Tenggara dan Eropa, yang membahas transformasi jurnalisme dan konsumsi berita di era digital.
"Jadi bagaimana jurnalisme akan berkembang dalam menghadapi media sosial dan bagaimana organisasi berita bisa membangun kepercayaan di tengah informasi yang berlebihan?" tanya Prita Kusumaputri, koresponden Deutsche Welle, yang menjadi moderator sesi 'Apakah Ada Tempat Jurnalisme di Media Sosial?'
Menurut Imam Safingi, media sosial bisa bermanfaat, menarik, dapat menginspirasi, tetapi juga bisa berbahaya. Itu mungkin menakutkan. Alasan di balik situasi yang berlawanan tersebut sebenarnya adalah hal yang sama bahwa setiap orang dapat berbagi segalanya. Dan dengan semua orang dapat berbagi segalanya, kita tidak dapat menghindari banjir informasi. Informasi ada di mana-mana, di mana saja, diharapkan atau tidak akurat, tidak diverifikasi.
Kanal Perupadata dimulai pada April 2020. Pada dasarnya ide memulai kanal itu adalah untuk mengumpulkan informasi, fakta, bisa berita, rilis, dan pernyataan publik. Perupadata mengkompilasinya, menganalisisnya, mendesainnya dengan layak dan kemudian membagikannya. Penggagasnya, Imam Safingi, terlibat dalam produksi video belajar mandiri dan desain grafis.
Pengalaman profesional Imam meliputi jurnalisme TV, produksi video, desain grafis, dan pembuatan konten, serta komunikasi. Bidang keahliannya komunikasi kreatif untuk kemanusiaan, pemberdayaan advokasi, dan aktivisme berkelanjutan. Dia telah bekerja dengan berbagai organisasi, termasuk perusahaan media, organisasi nirlaba, yayasan sosial, dan pemerintah. Berdasarkan persepsi bahwa berbagai sumber informasi semakin membanjiri saluran media, ia mendirikan Perupadata, yang menyaring, menyusun, dan memvisualisasikan informasi terkini dalam satu infografis.
"Pengamatan dari saluran dengan audiens yang besar atau pengikut yang banyak, ada juga beberapa akun lain dengan audiens yang lebih kecil. Terkadang keduanya dapat berbagi informasi yang akurat atau informasi yang tidak akurat. Jika audiens yang besar berbagi informasi yang tidak akurat, ini bisa menjadi bencana karena apa yang mereka bagikan terkadang hoaks. Terkadang tidak relevan dengan masalah saat ini. Kadang-kadang menyesatkan, tetapi diikuti oleh banyak orang. Itu berbahaya karena sebagian besar pengikut mungkin berpikir tentang sesuatu yang dapat dipercaya dan mereka akan mengikuti informasi itu terlepas dari sumbernya," kata Imam.
Apa yang dituju Perupadata ialah ingin menjadi platform dengan pemirsa besar untuk berbagi informasi yang akurat, informasi yang terverifikasi, dari sumber yang diverifikasi, dan data dan fakta yang dapat bermanfaat bagi orang-orang. Baik untuk mereka dapat digunakan dengan tujuan apa pun, bahkan lebih jauh lagi agar diikuti oleh para pembuat kebijakan berdasarkan situasi yang dikompilasi dan diinformasikan.
"Jadi saya akan mengatakan bahwa sumber adalah kuncinya. Ini bukan satu-satunya kunci, tetapi merupakan kunci besar untuk mendapatkan informasi yang benar dan jelas. Kita perlu memeriksa apakah itu kredibel atau mutakhir," ujarnya seraya menekankan bahwa kita tidak ingin menjadi bagian dari penyebaran informasi yang salah.
Pernyataan Imam sejalan dengan statistik yang ditunjukkan oleh Yasmina Al-Gannabi. Pendataan dilakukan pada Juni 2021, di kategori orang dewasa yang paling mempercayai berita. Terlihat di seluruh dunia, terlepas apakah di Eropa, Afrika atau Asia bahwa orang-orang semakin kehilangan kepercayaan pada jurnalisme di media dan lembaga penyiaran publik.
"Di Eropa, ada gerakan yang sangat besar dari partai-partai sayap kanan, yang membuat klaim. Jadi bukan hanya (mantan presiden) Donald Trump di Amerika Serikat, tetapi juga orang-orang Eropa, yang mengklaim bahwa media adalah tempatnya berita palsu," ucap Yasmina.
Katanya, bahwa media memiliki agenda khusus yang ingin diterapkan pada gagasan tertentu, agenda terselubung, pada orang-orang. Inilah mengapa semakin banyak orang yang kehilangan kepercayaan pada jurnalisme sebagai kebutuhan dan terutama sekarang selama pandemi Covid-19.
Yasmina merupakan instruktur manajemen pengembangan audiens dan konsultan media sosial yang sangat bersemangat dan berpengalaman dengan sejarah yang ditunjukkannya selama bekerja di industri media penyiaran. Dia saat ini bekerja untuk penyiar internasional Deutsche Welle Jerman. Atas nama Akademi DW dan organisasi lainnya, dia berkeliling dunia dan melatih jurnalis dan LSM dalam pekerjaan basis data di media sosial, pengumpulan berita, dan keamanan di media sosial. Deutsche Welle menyediakan konten dalam 33 bahasa sekarang.
"Jadi, apakah jurnalis atau jurnalisme bagian dari masalah? Mari kita jujur, jawabnya adalah 'Ya'. Mari kita di sini harus sangat jujur dengan diri kita sendiri bahwa kita berhenti mendengarkan audiens kita, kita berhenti mendengarkan apa yang ingin mereka lihat hari ini, apa yang ingin mereka dengar, dan untuk mengemas produk yang menarik bagi mereka," kata Yasmina.
Diakuinya sulit jurnalis untuk menganggap diri sebagai penyedia layanan tetapi pada akhirnya bersaing di luar sana tidak hanya dengan penyiar lain dan media lain. Tapi berkompetisi pula dengan influencer, pembuat konten, aktivis, dan mereka melakukan pekerjaan jauh lebih baik daripada jurnalis. Karena mereka mendengarkan audiens.
"Itulah mengapa kita harus melakukan itu juga, kita harus mencoba mendengarkan audiens kita, dan melihat apa kebutuhan pengguna mereka, apa yang mereka ingin kia hasilkan untuk mereka. Karena di sisi lain, kita masih melihat bahwa masih banyak orang yang percaya kepada kita. Jadi mungkin hanya kemasannya saja yang harus kita buat sedikit berbeda dalam beberapa saat," pesannya.
Sebelum berbicara tentang bagaimana jurnalisme dapat menjadi bagian dari solusi, berikut juga statistik yang dilakukan pada bulan Agustus 2021, terutama jika media ingin menarik audiens muda antara 16 dan 24 tahun. Audiens di kalangan itu percaya bahwa influencer, konten kreator, di Instagram adalah yang paling terpercaya, diikuti Tiktok. Tapi semakin sedikit anak muda yang mengikuti platform sosial seperti Twitter dan Facebook.
"Jadi orang mendambakan nilai tambah. Bagaimana memiliki nilai tambah? Nah, solusi jurnalisme mungkin satu hal yang dapat jadi pilihan," tandas Yasmina.
Lanskap media yang berbeda diuraikan Dr Le Thu Mach, pengajar jurnalisme dan komunikasi di Hanoi. Pemerintah Vietnam memiliki dan mengontrol semua surat kabar. 41 ribu wartawan bekerja di Vietnam dan 21 ribu di antaranya memiliki kartu pers. Kartu pers memungkinkan wartawan menghadiri konferensi pers partai dan pemerintah serta mewawancarai pejabat pemerintah.
Tetapi ideologi utama berarti bahwa jurnalisme diharapkan memberikan konten tentang hal-hal yang baik, positif, teladan dari kesepakatan dan pencapaian, untuk membawa rasa aman dan stabilitas guna mendulang lebih banyak investasi dalam melakukan bisnis.
Dr Le, dosen jurnalisme di Akademi Politik Nasional Ho Chi Minh serta Akademi Jurnalisme dan Komunikasi Swinburne University. Ia meraih gelar Ph.D. dalam jurnalisme dari Monash University dan memperoleh pengalaman media global dari beberapa negara.
"Internet memasuki Vietnam pada tahun 1997, dan hari ini lebih banyak ponsel daripada orang di atas 150 juta ponsel untuk 97 juta penduduk. Vietnam memiliki lebih banyak akun media sosial daripada jumlah orang yang menggunakan internet, jumlah akun media sosial setara dengan 40 hingga 73,7 persen dari populasi," katanya.
Fokus penelitian Dr Le Thu Mach meliputi penggunaan media digital untuk gerakan sosial dan berbicara di depan publik di Vietnam dan Asia Tenggara. Dia juga bekerja sebagai konsultan komunikasi untuk hubungan pemerintah dan penulis yang berkolaborasi pada beberapa media.
Source : https://www.alinea.id/media/adakah-tempat-untuk-jurnalisme-di-media-sosial-b2fd49ATP
Topik itu sangat menarik didiskusikan dalam konferensi dua hari diselenggarakan Goethe Institute Indonesia, Kedutaan Besar Jerman Jakarta, Deutsche Welle, dan Project Multatuli pada penghujung tahun 2021. Konferensi menghadirkan pakar-pakar dari Asia Tenggara dan Eropa, yang membahas transformasi jurnalisme dan konsumsi berita di era digital.
"Jadi bagaimana jurnalisme akan berkembang dalam menghadapi media sosial dan bagaimana organisasi berita bisa membangun kepercayaan di tengah informasi yang berlebihan?" tanya Prita Kusumaputri, koresponden Deutsche Welle, yang menjadi moderator sesi 'Apakah Ada Tempat Jurnalisme di Media Sosial?'
Menurut Imam Safingi, media sosial bisa bermanfaat, menarik, dapat menginspirasi, tetapi juga bisa berbahaya. Itu mungkin menakutkan. Alasan di balik situasi yang berlawanan tersebut sebenarnya adalah hal yang sama bahwa setiap orang dapat berbagi segalanya. Dan dengan semua orang dapat berbagi segalanya, kita tidak dapat menghindari banjir informasi. Informasi ada di mana-mana, di mana saja, diharapkan atau tidak akurat, tidak diverifikasi.
Kanal Perupadata dimulai pada April 2020. Pada dasarnya ide memulai kanal itu adalah untuk mengumpulkan informasi, fakta, bisa berita, rilis, dan pernyataan publik. Perupadata mengkompilasinya, menganalisisnya, mendesainnya dengan layak dan kemudian membagikannya. Penggagasnya, Imam Safingi, terlibat dalam produksi video belajar mandiri dan desain grafis.
Pengalaman profesional Imam meliputi jurnalisme TV, produksi video, desain grafis, dan pembuatan konten, serta komunikasi. Bidang keahliannya komunikasi kreatif untuk kemanusiaan, pemberdayaan advokasi, dan aktivisme berkelanjutan. Dia telah bekerja dengan berbagai organisasi, termasuk perusahaan media, organisasi nirlaba, yayasan sosial, dan pemerintah. Berdasarkan persepsi bahwa berbagai sumber informasi semakin membanjiri saluran media, ia mendirikan Perupadata, yang menyaring, menyusun, dan memvisualisasikan informasi terkini dalam satu infografis.
"Pengamatan dari saluran dengan audiens yang besar atau pengikut yang banyak, ada juga beberapa akun lain dengan audiens yang lebih kecil. Terkadang keduanya dapat berbagi informasi yang akurat atau informasi yang tidak akurat. Jika audiens yang besar berbagi informasi yang tidak akurat, ini bisa menjadi bencana karena apa yang mereka bagikan terkadang hoaks. Terkadang tidak relevan dengan masalah saat ini. Kadang-kadang menyesatkan, tetapi diikuti oleh banyak orang. Itu berbahaya karena sebagian besar pengikut mungkin berpikir tentang sesuatu yang dapat dipercaya dan mereka akan mengikuti informasi itu terlepas dari sumbernya," kata Imam.
Apa yang dituju Perupadata ialah ingin menjadi platform dengan pemirsa besar untuk berbagi informasi yang akurat, informasi yang terverifikasi, dari sumber yang diverifikasi, dan data dan fakta yang dapat bermanfaat bagi orang-orang. Baik untuk mereka dapat digunakan dengan tujuan apa pun, bahkan lebih jauh lagi agar diikuti oleh para pembuat kebijakan berdasarkan situasi yang dikompilasi dan diinformasikan.
"Jadi saya akan mengatakan bahwa sumber adalah kuncinya. Ini bukan satu-satunya kunci, tetapi merupakan kunci besar untuk mendapatkan informasi yang benar dan jelas. Kita perlu memeriksa apakah itu kredibel atau mutakhir," ujarnya seraya menekankan bahwa kita tidak ingin menjadi bagian dari penyebaran informasi yang salah.
Pernyataan Imam sejalan dengan statistik yang ditunjukkan oleh Yasmina Al-Gannabi. Pendataan dilakukan pada Juni 2021, di kategori orang dewasa yang paling mempercayai berita. Terlihat di seluruh dunia, terlepas apakah di Eropa, Afrika atau Asia bahwa orang-orang semakin kehilangan kepercayaan pada jurnalisme di media dan lembaga penyiaran publik.
"Di Eropa, ada gerakan yang sangat besar dari partai-partai sayap kanan, yang membuat klaim. Jadi bukan hanya (mantan presiden) Donald Trump di Amerika Serikat, tetapi juga orang-orang Eropa, yang mengklaim bahwa media adalah tempatnya berita palsu," ucap Yasmina.
Katanya, bahwa media memiliki agenda khusus yang ingin diterapkan pada gagasan tertentu, agenda terselubung, pada orang-orang. Inilah mengapa semakin banyak orang yang kehilangan kepercayaan pada jurnalisme sebagai kebutuhan dan terutama sekarang selama pandemi Covid-19.
Yasmina merupakan instruktur manajemen pengembangan audiens dan konsultan media sosial yang sangat bersemangat dan berpengalaman dengan sejarah yang ditunjukkannya selama bekerja di industri media penyiaran. Dia saat ini bekerja untuk penyiar internasional Deutsche Welle Jerman. Atas nama Akademi DW dan organisasi lainnya, dia berkeliling dunia dan melatih jurnalis dan LSM dalam pekerjaan basis data di media sosial, pengumpulan berita, dan keamanan di media sosial. Deutsche Welle menyediakan konten dalam 33 bahasa sekarang.
"Jadi, apakah jurnalis atau jurnalisme bagian dari masalah? Mari kita jujur, jawabnya adalah 'Ya'. Mari kita di sini harus sangat jujur dengan diri kita sendiri bahwa kita berhenti mendengarkan audiens kita, kita berhenti mendengarkan apa yang ingin mereka lihat hari ini, apa yang ingin mereka dengar, dan untuk mengemas produk yang menarik bagi mereka," kata Yasmina.
Diakuinya sulit jurnalis untuk menganggap diri sebagai penyedia layanan tetapi pada akhirnya bersaing di luar sana tidak hanya dengan penyiar lain dan media lain. Tapi berkompetisi pula dengan influencer, pembuat konten, aktivis, dan mereka melakukan pekerjaan jauh lebih baik daripada jurnalis. Karena mereka mendengarkan audiens.
"Itulah mengapa kita harus melakukan itu juga, kita harus mencoba mendengarkan audiens kita, dan melihat apa kebutuhan pengguna mereka, apa yang mereka ingin kia hasilkan untuk mereka. Karena di sisi lain, kita masih melihat bahwa masih banyak orang yang percaya kepada kita. Jadi mungkin hanya kemasannya saja yang harus kita buat sedikit berbeda dalam beberapa saat," pesannya.
Sebelum berbicara tentang bagaimana jurnalisme dapat menjadi bagian dari solusi, berikut juga statistik yang dilakukan pada bulan Agustus 2021, terutama jika media ingin menarik audiens muda antara 16 dan 24 tahun. Audiens di kalangan itu percaya bahwa influencer, konten kreator, di Instagram adalah yang paling terpercaya, diikuti Tiktok. Tapi semakin sedikit anak muda yang mengikuti platform sosial seperti Twitter dan Facebook.
"Jadi orang mendambakan nilai tambah. Bagaimana memiliki nilai tambah? Nah, solusi jurnalisme mungkin satu hal yang dapat jadi pilihan," tandas Yasmina.
Lanskap media yang berbeda diuraikan Dr Le Thu Mach, pengajar jurnalisme dan komunikasi di Hanoi. Pemerintah Vietnam memiliki dan mengontrol semua surat kabar. 41 ribu wartawan bekerja di Vietnam dan 21 ribu di antaranya memiliki kartu pers. Kartu pers memungkinkan wartawan menghadiri konferensi pers partai dan pemerintah serta mewawancarai pejabat pemerintah.
Tetapi ideologi utama berarti bahwa jurnalisme diharapkan memberikan konten tentang hal-hal yang baik, positif, teladan dari kesepakatan dan pencapaian, untuk membawa rasa aman dan stabilitas guna mendulang lebih banyak investasi dalam melakukan bisnis.
Dr Le, dosen jurnalisme di Akademi Politik Nasional Ho Chi Minh serta Akademi Jurnalisme dan Komunikasi Swinburne University. Ia meraih gelar Ph.D. dalam jurnalisme dari Monash University dan memperoleh pengalaman media global dari beberapa negara.
"Internet memasuki Vietnam pada tahun 1997, dan hari ini lebih banyak ponsel daripada orang di atas 150 juta ponsel untuk 97 juta penduduk. Vietnam memiliki lebih banyak akun media sosial daripada jumlah orang yang menggunakan internet, jumlah akun media sosial setara dengan 40 hingga 73,7 persen dari populasi," katanya.
Fokus penelitian Dr Le Thu Mach meliputi penggunaan media digital untuk gerakan sosial dan berbicara di depan publik di Vietnam dan Asia Tenggara. Dia juga bekerja sebagai konsultan komunikasi untuk hubungan pemerintah dan penulis yang berkolaborasi pada beberapa media.
Source : https://www.alinea.id/media/adakah-tempat-untuk-jurnalisme-di-media-sosial-b2fd49ATP