Penanganan Radikalisme di Media Sosial Belum Optimal
Penanganan narasi radikal di media sosial masih jadi pekerjaan rumah yang harus diperbaiki. Kemampuan memproduksi kontranarasi jauh lebih sedikit ketimbang wacana radikalisme yang beredar.
Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Komisaris Jenderal Boy Rafli Amar dalam rapat kerja dengan Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat di Gedung Nusantara II DPR, Jakarta, Selasa (25/1/2022), memaparkan, setidaknya ditemukan 713 konten radikal yang menyebar di media sosial (medsos) sepanjang tahun 2021. Sebanyak 409 konten masuk kategori umum, 147 konten anti-Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), 85 konten anti-Pancasila, 7 konten intoleran, dan 2 konten terkait ideologi takfiri.
Dari segi jumlah akun, terdapat 119 akun dan grup yang berada di Facebook, 126 kontak dan grup yang ada di Whatsapp, 85 kanal dan grup di Telegram, serta 10 akun Instagram. Selain itu, ditemukan pula 20 akun Youtube, 3 akun Twitter, dan 4 media online yang terkait dengan terorisme.
BNPT juga mengajukan penurunan 72 konten ke Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo). Akan tetapi, dari total pengajuan, hanya 36 konten yang telah diturunkan. ”Selisih ini terjadi karena ada perbedaan sistem hukum antara Indonesia dan beberapa negara asal platform medsos. Sebagian konten yang di Indonesia dianggap berbahaya, di negara lain masih masuk dalam ranah kebebasan berpendapat,” kata Boy.
Kepala BNPT Komisaris Jenderal Boy Rafli Amar dalam rapat kerja dengan Komisi III DPR di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (25/1/2022). |
Ia mengakui, pemantauan dan penanganan konten radikal di medsos belum optimal. Jumlah konten yang masuk radar BNPT masih jauh jika dibandingkan dengan total konten yang ada di jagat maya. Apalagi, jumlah pengguna internet di Indonesia mencapai 202 juta orang. Sebanyak 80 persen di antaranya adalah pengguna medsos, sebagian besar merupakan generasi Z atau masyarakat yang lahir dalam kurun waktu tahun 1996-2012.
”Ini (memang) terlalu sedikit. Kami belum bisa maksimal karena senjata BNPT belum memadai,” ujar Boy. Selain bekerja sama dengan Kemenkominfo, idealnya BNPT memiliki perangkat dan sistem yang bisa digunakan untuk menurunkan konten secara mandiri. Akan tetapi, hal itu masih terkendala keterbatasan anggaran.
Boy mengatakan, penanganan konten radikal di dunia maya penting karena kelompok teror saat ini gencar memanfaatkan medsos untuk berbagai aktivitasnya. Mulai dari berkomunikasi, koordinasi, merekrut anggota, hingga merencanakan serangan teror.
Jumlah konten yang masuk radar BNPT masih jauh jika dibandingkan dengan total konten yang ada di jagat maya. Apalagi, jumlah pengguna internet di Indonesia mencapai 202 juta orang.
Dari sejumlah pengungkapan tindak pidana terorisme, ditemukan kecenderungan bahwa para pelaku teror umumnya tersambung dengan narasi radikalisme yang ada di internet. Informasi yang didapatkan itu dipercaya begitu saja seperti virus yang bisa masuk dengan mudah ke tubuh manusia. ”Ada proses self radicalization (radikalisasi mandiri) yang terjadi karena mereka asyik sendiri mengonsumsi informasi-informasi itu lalu menganggap dirinya satu pemahaman dengan mereka,” ucapnya.
Hal ini umumnya terjadi pada kalangan dewasa muda atau masyarakat yang berusia 20-26 tahun. Terbukti, sejak peristiwa bom Bali hingga penyerangan Mabes Polri pada Maret 2021, pelakunya ada dalam rentang usia tersebut.
Prioritas..
Menanggapi hal tersebut, anggota Komisi III dari Fraksi Gerindra, Obon Tabroni, mengatakan, radikalisasi yang terjadi di internet memang harus terus diantisipasi lebih lanjut oleh BNPT. Ia mengusulkan agar pencegahan radikalisasi diprioritaskan ke medsos. Terlebih masih ada tren serangan teror oleh pelaku perseorangan atau lonewolf yang umumnya teradikalisasi dari internet.
”Pengalaman saya di media sosial, masih jarang ditemukan pesan-pesan kontraradikalisasi. Padahal, hal itu bisa dilakukan, biayanya pun murah,” kata Obon.
Data BNPT mengenai temuan konten radikal di media sosial sepanjang tahun 2021. |
Adde Rosi Khoerunnisa, anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Golkar, menambahkan, kekuatan BNPT untuk menyebarkan kontranarasi radikal juga belum optimal dan perlu diperkuat. Saat ini, hanya ada empat situs yang dimiliki untuk menghadapi begitu banyak narasi di internet. Efektivitasnya juga perlu dievaluasi.
Lebih dari menangani akun dan narasi yang beredar, anggota Komisi III DPR dari Fraksi Nasdem, Taufik Basari, menyebutkan, diperlukan pula edukasi terhadap media arus utama dan pelaku media sosial agar tidak ikut terjebak turut mempromosikan narasi yang provokatif dan mendukung pola pikir kelompok teror. ”Diperlukan pemahaman agar semua pihak merasa bertanggung jawab untuk menciptakan suasana yang teduh, damai, sejuk, dengan tidak memberikan ruang atau panggung bagi pikiran yang ekstrem,” ujarnya.