Melihat Tren ‘Korban’ Jeratan UU ITE

Sejak berlakunya UU No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) sebagaimana diubah dengan UU No.19 tahun 2016, telah banyak orang yang terjerat pidana dengan UU ini. Pelaporan yang diduga melakukan tindak pidana pencemaran nama baik, berita bohong, atau ujaran kebencian di dunia maya atau media sosial dengan mudahnya dijerat UU ITE yang berisi pasal-pasal karet ini.


Sejumlah elemen masyarakat meminta agar pidana pencemaran nama baik, penghinaan di ranah daring ini dicabut dari UU ITE. Sebab, sejumlah kasus dugaan pencemaran nama baik lebih banyak dilatarbelakangi motif balas dendam; kecenderungan membungkam kritik (politis); ancaman pembatasan kebebasan berpendapat di dunia maya. Salah satu, kritik LBH Pers, ada ketidakadilan dalam penerapan UU ITE. Menurut LBH Pers, ada dua pasal yang paling krusial dan menjerat banyak orang yakni Pasal 27 ayat (3) dan Pasal 28 ayat (2) UU ITE.


Ketua Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum (YLBHI) Muhammad Isnur menilai beberapa tahun terakhir kebebasan berekspresi dan menyatakan pendapat di muka umum seolah mendapat “ancaman” melalui UU ITE. Sebab, ada kecenderungan orang khawatir ketika menyampaikan kritik atau pendapatnya di media sosial. Faktanya, menyatakan pendapat atau kritik tak jarang berurusan dengan aparat kepolisian hingga diseret ke meja hijau lantaran diduga melakukan pencemaran nama baik, ujaran kebencian, atau menyampaikan berita bohong.


Selama berlakunya UU ITE ini, YLBHI mencatat ada sekitar 351 kasus pelanggaran hak dan kebebasan sipil yang tersebar di seluruh Indonesia. Mulai Sumatera Utara, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Lampung, Riau, Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Yogyakarta, Bali, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, dan Papua.


Kasus-kasus tersebut didominasi oleh pelanggaran hak berekspresi dan menyatakan pendapat di muka umum. Secara rinci, terdapat pelanggaran hak berekspresi atau berpendapat secara lisan (26%), pelanggaran hak menyampaikan pendapat melalui unjuk rasa (25%), pelanggaran hak berekspresi atau berpendapat secara digital (17%). Kemudian pelanggaran hak mencari dan menyampaikan informasi (16%), serta pelanggaran terhadap data pribadi (16%).


Data Lembaga Bantuan Hukum (LBH)-YLBHI menunjukan tingginya angka penangkapan sewenang-wenang sebanyak 3.539 orang. Kasusnya didominasi dengan penyampaian pendapat di muka umum. Karena itu, Isnur meminta pemerintah dan DPR mesti memprioritaskan revisi terhadap UU yang menghambat dan melanggar kebebasan berpendapat dan berekspresi, salah satunya merevisi UU ITE. (Baca Juga: Sejumlah Alasan Pencemaran Nama Baik di Dunia Maya Perlu Dicabut dari UU ITE)


Sementara Wakil Ketua DPR Aziz Syamsuddin menilai semangat dibuatnya UU ITE sejak awal mempertimbangkan prinsip keadilan. Tapi praktiknya, sejumlah pasal UU ITE dijadikan “senjata” untuk saling melapor ke kepolisian, sehingga penerapannya menjadi multafsir (pasal karet). Masyarakat pun jenuh dengan banyaknya penggunaan pasal penceraman nama baik dan penghinaan di dunia maya dengan UU ITE ini.


Ada banyak kasus yang menjadi “korban” jeratan UU ITE. Misalnya, publik masih ingat betul dengan nama Prita Mulyasari pada 2009 silam. Gara-gara curhat pelayanan Rumat Sakit Omni Internasional melalui e-mail yang tersebar, Prita Mulyasari dijerat pasal-pasal UU ITE. Demikian pula, dengan nama Baiq Nuril, Guru honorer di SMAN 7 Mataram Nusa Tenggara Barat dijerat UU ITE gara-gara merekam pembicaraannya dengan Kepala Sekola berinisial M saat menelpon dirinya pada 2012.


Dalam perbincangan melalui sambungan telepon, M menceritakan perbuatan asusila yang dilakukan dirinya dengan seorang wanita yang juga dikenal Nuril. Singkat cerita, 2015 rekaman tersebut tersebar ke masyarakat Mataram dan M pun geram. M melaporkan Nuril ke polisi. Kasus bergulir hingga tingkat kasasi. Hingga akhirnya, Presiden Joko Widodo memberikan amnesti kepada Nuril.


Dandy Dwi Laksono pun pernah dijerat pasal UU ITE. Aktivis dan jurnalis itu berkicau melalui akun twitternya pada September 2019. Dandy dibekuk lantaran dituding menebar kebencian beraroma SARA. Polisi menuding Dandy melanggar Pasal 28 ayat (2) jo Pasal 45A ayat (2) UU ITE. Meski sempat ditangkap, tapi tak lama kemudian dilepas. Kini, kasusnya pun tak pernah terdengar lagi di publik.


Tiga nama itu merupakan segelintir orang yang menjadi “korban” jeratan pasal-pasal UU ITE. Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) sendiri mencatat ada ratusan laporan pengaduan terkait jeratan UU ITE. Ada yang telah diputus pengadilan hingga berkekuatan hukum tetap; tidak jelas status kasusnya di kepolisian alias menggantung; hingga berakhir damai. Misalnya, terdapat 3 kasus pada 2008 sejak berlakunya UU ITE. Kemudian pada 2009 terdapat 1 kasus; 2010 terdapat 2 kasus; 2011 terdapat 3 kasus.


Pada tahun 2012 meningkat menjadi 5 kasus. Jumlah kasus mengalami peningkatan signifikan pada 2013 menjadi 22 perkara. Pada periode 2014 jumlah kasus terus meningkat menjadi 36 perkara. Pada 2015 menurun menjadi 30 kasus. Pada 2016 merangkak naik lagi menjadi 83 kasus. Pada periode 2017 terdapat 52 kasus; periode 2018 terdapat 29 kasus. Pada 2019 mengalami penurunan menjadi 22 kasus. Tapi, pada 2020 mengalami peningkatan lagi menjadi 34 kasus.




Berikut Ini Jumlah Pelaporan Kasus Pelanggaran UU ITE Tahun 2020


 







Source : https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt6033d91c46c27/melihat-tren-korban-jeratan-uu-ite?page=2


Popular Posts