Media Sosial: Tantangan Baru bagi Etika Profesi Advokat

 Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Di era digitalisasi saat ini, begitu banyak kemudahan yang dirasakan oleh masyarakat pada berbagai bidang seperti ekonomi, sosial, dan budaya. Tentu, kemudahan-kemudahan ini merupakan nilai tambah dari kemajuan teknologi di Indonesia. 

Sederhananya untuk dapat melakukan percapakan tatap muka tentu masyarakat dimudahkan dengan kehadiran fitur-fitur video call, untuk mengakomodir suara atau dukungan terhadap suatu isu sering kali masyarakat memanfaatkan aplikasi/layanan petisi online yang sangat mudah di operasikan cukup dengan one click. 

Selain itu nilai positif lainnya dari kemajuan teknologi adalah pemanfaatan media sosial sebagai sarana kampanye/advokasi seperti melalui platform instagram, facebook, twitter, tiktok, youtube, dll.

Saat ini media sosial menjadi salah satu wadah berjejaring yang paling diminati oleh masyarakat. Berdasarkan laporan We are Social jumlah pengguna aktif media sosial di Indonesia hingga Januari 2022 mencapai 191 juta jiwa. Media sosial menyediakan fitur-fitur yang memudahkan penggunanya dalam berjejaring seperti like, comment, post, repost, upload video, kirim voice notes, dll. 

Tentu ini menjadi hal positif yang perlu di apresiasi, namun di sisi lain dalam pengunaannya terdapat pula pihak-pihak yang memanfaatkan media sosial untuk menyebarkan hate speeches dan berita palsu, akibatnya menimbulkan permasalahan baru di masyarakat. 

Sering kali dampak negatif ini tidak terjadi di media sosial saja, melainkan bisa terseret juga ke dunia nyata. Cukup banyak kasus hukum yang awal penyebabnya datang dari perilaku di media sosial.

Tindakan-tindakan negatif seperti hate speeches dan menyebarkan berita bohong atau palsu, memviralkan kasus klien dengan cara yang kurang tepat tentunya merupakan contoh nyata dari tantangan etika bermedia sosial bagi masyarakat tidak terkecuali profesi advokat. 

Tindakan tersebut tidak didasarkan pada pertimbangan etis sebelumnya oleh para pengguna sehingga menimbulkan permasalahan baru di media sosial yang memungkinkan juga berlanjut hingga ke ranah hukum di dunia nyata.

Seperti halnya, baru-baru ini media sosial sempat dihebohkan dengan keberadaan video viral yang di posting oleh akun instagram bernama @memomedsos yang memperlihatkan tindakan seorang pengacara yang menebar uang sejumlah Rp.40.000.000,- (Empat Puluh Juta Rupiah) di depan Polsek Banyuwangi. 

Di dalam video tersebut terlihat seorang pengacara yang berteriak mencari kanit reskrim Polsek Banyuwangi, Pengacara tersebut tidak terima kliennya di intervensi oleh polisi untuk tidak menggunakan pengacara. Menurut penuturannya dalam video tersebut, dia merasa seorang advokat itu setara dengan polisi sebagai penegak hukum.

Permasalahan ini cukup menarik banyak perhatian warga net, tindakan pengacara tersebut sangat tidak etis dan dapat menjadi presenden buruk untuk masyarakat yang menonton videonya di media sosial. Secara regulasi, Kode etik advokat telah mengatur perihal tindakan yang tidak dibenarkan bagi advokat. 

Ketentuan ini tepatnya berada pada bab VII tentang ketentuan-ketentuan lain kode etik tepatnya pada pasal 8 huruf f yang menyebutkan bahwa Advokat tidak dibenarkan melalui media massa mencari publitas bagi dirinya dan atau untuk menarik perhatian masyarakat mengenai tindakan-tindakannya sebagai Advokat mengenai perkara yang sedang atau telah ditanganinya, kecuali apabila keterangan keterangan yang ia berikan itu bertujuan untuk menegakkan prinsip-prinsip hukum yang wajib diperjuangkan oleh setiap Advokat.

 Selanjutnya bila dikomparasikan dengan tindakan advokat pada video yang viral di media sosial tersebut, maka dapat dikatakan jelas bahwa tindakannya memenuhi unsur-unsur tindakan yang tidak dibenarkan dalam kode etik advokat.

Memang tidak dapat di pungkiri bahwa masyarakat pada era saat ini termasuk advokat masih menikmati euforia kemudahan yang ada di media sosial, sehingga sering kali tindakan-tindakan yang dipublikasikan olehnya tidak terkontrol dan beresiko menimbulkan permasalahan baru. 

Namun, perlu di ingat bahwa advokat merupakan profesi yang terhormat (officium nobile) dan kehormatan tersebut harus di jaga dengan baik. Sebagai seorang penegak hukum, yang dipandang sebagai pembela keadilan bagi masyarakat, sudah sepantasnya bahwa seorang advokat harus menjaga etikanya di ruang publik. 

Dengan contoh kasus di atas, tentu menimbulkan presepsi buruk mengenai etika dan sopan santun seorang advokat di ruang publik yang kemudian tersebar di media sosial. 

Selanjutnya, untuk meniminalisir atau bahkan menekan keberulangan kasus yang serupa, langkah yang dapat dilakukan untuk menjaga kehormatan seorang advokat adalah dengan mengatur lebih spesifik mengenai batasan dari tindakan yang diperbolehkan untuk dilakukan oleh seorang advokat pada saat menggunakan media sosial. 

Mengingat bahwa pergerakan informasi pada media sosial ini sangatlah cepat, kita tidak bisa mengontrol apa yang telah kita post di media sosial.[5] Maka, dalam situasi ini diperlukan tindakan preventif agar dapat menekan resiko terburuk yang akan dihadapi oleh seorang advokat. 

Pengaturan mengenai tindakan bermedia sosial ini dapat di muat dalam kode etik profesi advokat. Penambahan aturan ini untuk memperjelas pengaturan yang sudah ada sebelumnya, dengan harapan advokat akan lebih hati-hati dalam bertindak di media sosial sehingga predikat officium nobile yang disandangnya dapat terjaga dengan baik. 

Sumber : https://www.kompasiana.com/windafirdaus18/626163b9bb44860c21601862/media-sosial-tantangan-baru-bagi-etika-profesi-advokat?page=2&page_images=1

Kreator: Winda Rachmainda Firdaus

Popular Posts