Misi Perdamaian dalam Sosial Media

 (Sumber: Liputan6.com)

Indonesia. Negara indah nan permai, dari Sabang sampai Merauke berjajar pulau-pulau dengan ragam kekayaan di dalamnya. Kekayaan tersebut meliputi suku, agama, dan budaya yang begitu beragam. Sayangnya, apa yang kita sebut sebagai kekayaan ini justru menjadi sasaran empuk bagi orang-orang yang menginginkan perpecahan dalam bangsa ini. Tidak bermaksud menjustifikasi dan melunturkan kepercayaan sebagai suatu bangsa, tetapi mari kita melihat gejala-gejala yang marak terjadi belakangan ini seiring berkembangnya zaman dan teknologi. Di berbagai konten-konten sosial media, kita dengan mudah dapat menemukan berita-berita yang belum jelas kebenarannya dan ujaran-ujaran kebencian. Gejala-gejala ringan dalam sosial media tersebut jika diabaikan dan tidak ditindaklanjuti akan menimbulkan gerakan-gerakan intoleran yang mampu memicu disintegrasi bangsa ini.

Berawal dari Dunia Maya

Gawai yang kita miliki saat ini adalah bentuk perkembangan teknologi terbaik sepanjang masa. Hanya melalui gawai yang ukurannya lebih kecil dari kantong celana, kita dapat mengakses berita-berita dari seluruh penjuru dunia. Perlu disadari pula bahwa internet adalah jalannya. Tanpa adanya internet kita tidak bisa mengetahui apa yang sedang terjadi di Mesir atau Amerika saat ini. Sayangnya, ciptaan yang luar biasa megah ini juga memiliki dampak buruknya.

Semua hal di dalam internet pertama-tama di produksi oleh manusia sendiri, dan manusia lain adalah budak dan santapan lezat arus internet. Manusia kemudian menjadi makhluk yang disebut Homo Digitalis. Makhluk yang dikendalikan media, berfungsi sebagai media, dan mengadopsi iklim teknologi ini. Hal ini menjadi berbahaya bahwa segala akar permasalahan di dunia ini adalah manusia yang menggunakan superioritas internet. Mengendalikan media, dan menarik atensi publik agar sepaham dengannya. Tentu saja yang mengerikan dari hal tersebut adalah memicu gerakan-gerakan radikal yang ada dalam dunia nyata.

Hoaks bukan lagi hal yang sepele. Jika tidak benar-benar disaring, ini akan terus membudaya dalam iklim media dan memicu adanya perpecahan dalam Indonesia. Di Indonesia sudah cukup marak terjadi berita-berita bohong yang mampu memicu intoleransi. Pilpres 2019 adalah contoh nyata. Menjadi kontroversi dangkal yang menyeret publik ke dalam rivalitas 'kita versus mereka', dimana pihak sendiri selalu benar sedangkan pihak lawan pasti salah. Ketika sentimen publik semakin tak terkontrol, maka hal tersebut mampu merembet dan bersinggungan dengan suku, ras, dan agama lawan. Disintegrasi skala nasional dapat dengan mudah terjadi.

Ujaran-ujaran kebencian juga tak dapat terhindari. Terutama yang berkaitan dengan unsur-unsur agama, kerap kali kita jumpai dalam konten sosial media. Kasus Asma Dewi menjadi salah satu bentuk nyata bahwa ujaran kebencian dapat dengan mudah disebar melalui media sosial. Ini menjadi salah satu perhatian khusus Gereja, menghadapi arus globalisasi dengan menggerakan unsur penting Gereja yaitu anak muda dalam menularkan toleransi.

Panggilan Bermisi

Menurut data Statista, pengguna sosial media per tahun 2020 paling banyak adalah penduduk dengan usia 25--34 tahun, dan terbesar kedua berada di rentang usia 18-24 tahun. Melalui data ini, mayoritas pengguna sosial media adalah anak muda. Anak muda dituntut untuk kritis dalam bermedia sosial. Tidak semerta-merta hanyut dalam berita-berita bohong dan bahkan menyebarkannya. Anak muda harus berani menyuarakan gerakan perdamaian yang semakin mengeratkan persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia.

Peran anak muda disini sangat penting. Sebagai pengguna aktif sosial media, anak muda Katolik diajak untuk membangun cinta kasih dan persaudaraan di dunia digital. Mungkin sulit bagi anak muda Katolik melihat situasi Indonesia yang mayoritas beragama Muslim. Gereja mengajak anak muda untuk tidak takut dengan label minoritas. Dalam pertemuan Paus Fransiskus dan Imam Besar Al-Tayyeb, ditegaskan bahwa penggunaan kata minoritas harus ditolak karena bersifat diskriminatif. Menimbulkan rasa terisolasi dan inferior bagi kelompok tertentu. Hendaklah ini menjadi pijakan bersama untuk melangkah dan bermisi mewartakan perdamaian di tengah dunia maya dan nyata.

Gereja juga menjadi jembatan untuk anak muda agar berkolaborasi dengan sesama yang beragama lain. Mengawalinya dengan dialog kehidupan,sampai pada dialog karya dimana para pemuda dapat menciptakan konten-konten perdamaian bersama. Orang muda Katolik bukan lagi masa depan Gereja, melainkan masa kini. Kita dipanggil untuk menjadi promotor perdamaian di tengah dunia digital. Bukan lagi seberapa banyak Gereja membaptis orang melainkan Gereja yang bergerak bersama anak muda mengenalkan Yesus Kristus ke sesama yang beragama lain, dan berani mendegarkan sesama yang berbeda. Hal tersebut merupakan sifat Gereja yang terbuka kepada siapapun dan menerima sebagai wujud nyata membangun perdamaian. Anak muda Katolik, mari memohon rahmat jiwa besar dan hati rela berkorban untuk mewartakan perdamaian, dan menebas introleransi!

Sumber:

-F. Budi Hardiman, Aku Klik maka Aku Ada, Kanisius, Yogyakarta, 2021.

-Mgr. Ignatius Suharyo, The Catholic Way, Kanisius, Yogyakarta, 2009.

-https://nasional.kompas.com/read/2017/12/24/23245851/11-kasus-ujaran-kebencian-dan-hoaks-yang-menonjol-selama-2017?page=all

Sumber : https://www.kompasiana.com/victorius06924/6209de9377cadb38590e5885/misi-perdamaian-dalam-sosial-media?page=2&page_images=1

Popular Posts