Permintaan Penghapusan Konten di Media Sosial Menguat




 JAKARTA, KOMPAS  — Wewenang pemerintah untuk melakukan moderasi konten media sosial menguat di negara kawasan Asia Pasifik. Pemerintah di negara-negara Asia Pasifik telah memperbarui hukum pidana dan regulasi keamanan nasional terkait keamanan siber. Sementara pada saat bersamaan, masyarakat mengalami keterbatasan dalam melakukan banding.

Mengutip laporan riset Online Content Regulation In The Asia Pacific yang dirilis oleh Asia Centre, lembaga riset yang berkantor pusat di Bangkok, Thailand, dan Google, Kamis (18/1/2024) malam, terdapat tren peningkatan rata-rata permintaan penghapusan konten tahunan yang ditujukan ke Meta di Asia Tenggara. Tren peningkatan ini terutama dipengaruhi oleh jumlah permintaan yang naik dari Indonesia dan Thailand karena dugaan pelanggaran hukum.

Jumlah permintaan penghapusan konten ke Meta meningkat dari 618 permintaan pada 2020 menjadi 1.007 permintaan pada 2021 dan 1.642 permintaan pada 2022. Konten daring yang diminta dihapus termasuk kritik pemerintah dan postingan yang menyerukan pelanggaran hukum terkait judi ilegal, perkataan yang mendorong kebencian, penipuan keuangan, dan konten yang memicu perpecahan ras atau agama.

Permintaan penghapusan konten di media sosial dari negara-negara Asia Selatan juga muncul. Tren permintaan berfluktuasi dari India, sedangkan di Bangladesh terjadi peningkatan permintaan yang moderat. Adapun di Pakistan terjadi peningkatan penghapusan konten yang substansial. Jika dijumlah secara keseluruhan, rata-rata terdapat 939 permintaan penghapusan pada 2020, 981 permintaan pada 2021, dan 1.671 permintaan pada 2022.

Di Asia Timur terdapat pola yang beragam dalam penghapusan konten Facebook, ditandai dengan lonjakan besar di Korea Selatan dan Taiwan, serta fluktuasi di Jepang sehingga berkontribusi terhadap penghapusan rata-rata di kawasan sebanyak 444 permintaan pada 2020 dan 1.900 permintaan pada 2021. Rata-rata permintaan penghapusan naik signifikan pada 2022 yang sebesar 11.626 permintaan.

Permintaan penghapusan konten juga terjadi platform Google. Kondisi kenaikan permintaan penghapusan konten di Google di kawasan Asia Tenggara bervariasi. Namun, permintaan penghapusan dari Pemerintah Thailand paling mengalami lonjakan, yakni dari 56 permintaan pada 2020 menjadi di atas 100 permintaan dua tahun kemudian.

Di Asia Selatan, permintaan penghapusan konten paling menonjol datang dari Pemerintah India. Total permintaan penghapusan ke Google dari India mencapai 420 permintaan pada 2020, lalu naik menjadi 765 permintaan pada 2021, dan 964 permintaan pada 2022.

Korea Selatan secara khusus berkontribusi terhadap tren peningkatan penghapusan konten ke Google secara keseluruhan di kawasan Asia Timur. Rata-rata permintaan penghapusan konten di kawasan ini mengalami peningkatan dari 701 pada tahun 2020 menjadi lebih dari 2.400 pada tahun 2022.

Manajer Riset Asia Centre Marc Piñol Rovira mengatakan, sejak 2010-an, internet telah menjadi populer di Asia Selatan, Asia Tenggara, dan Asia Timur. Penetrasi internet di Asia Selatan hanya sekitar 11,8 persen pada 2013, lalu meningkat menjadi 42,6 persen pada 2020. Sementara penetrasi internet di Asia Timur naik dari 42 persen pada 2013 menjadi 83,6 persen pada 2022. Adapun penetrasi internet di Asia Tenggara meningkat dari 40 persen pada 2013 menjadi 85,2 persen pada 2022.

Sejalan dengan hal itu, terjadi pemakaian media sosial dan aplikasi pesan instan masif. Keduanya telah menjadi alat komunikasi yang diperlukan bagi jutaan orang di Asia Pasifik.

”Pesatnya perkembangan teknologi dan komunikasi digital telah membuka banyak peluang demokratisasi akses informasi. Kendati demikian, suasana tersebut memunculkan tantangan pemberdayaan politik,” ujar Marc.

Riset yang dikerjakan Asia Centre bekerja sama dengan Google juga menemukan, di negara-negara kawasan Asia Pasifik, pemerintah mereka telah memperbarui hukum pidana dan regulasi keamanan nasional, memberlakukan peraturan terkait berita palsu dan keamanan siber, sampai regulasi yang mengatur penyedia jasa internet dan perusahaan teknologi. Marc tidak merinci detail nama regulasinya. Akan tetapi, kehadiran model regulasi seperti itu banyak dipakai pemerintah meminta perusahaan teknologi untuk memblokir dan menghapus konten.

Maraknya permintaan pemerintah memblokir dan menghapus konten berdampak negatif ke masyarakat. Dia mencontohkan, peran masyarakat yang meminta pertanggungjawaban pemerintah menjadi terganggu karena otoritas negara secara rutin mengarahkan penyedia jasa internet dan perusahaan teknologi untuk blokir atau hapus konten yang dianggap sensitif atau ilegal. Hal ini mengurangi tuntutan masyarakat sipil terhadap akuntabilitas.

Kejelasan

Direktur Eksekutif Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) Wahyudi Djafar, Jumat (19/1/2024), di Jakarta, mengatakan, dalam beberapa tahun terakhir, di Indonesia, sedang terjadi kecenderungan penguatan wewenang pemerintah untuk take down atau moderasi konten. Dalam Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), penyidik bisa meminta penutupan dan pemblokiran konten di media sosial. Akan tetapi, tidak ada kejelasan apakah permintaan itu bersifat sementara atau penutupan permanen.

”Permasalahan lainnya adalah ketiadaan mekanisme komplain atau banding atas tindakan pemerintah untuk menghapus konten. Masyarakat menjadi kesulitan mencari pembanding sehingga pada akhirnya berpotensi membuat mereka takut beropini di media sosial. Mereka memilih melakukan sensor mandiri sebelum mengunggah konten,” kata dia.

Lebih jauh, Wahyudi mengatakan, di beberapa negara, termasuk Indonesia, permintaan penghapusan konten cenderung diikuti dengan ancaman hukuman pidana. Hal ini menambah problem bermedia sosial.

Selama proses pembahasan perubahan kedua UU ITE, sejumlah organisasi, termasuk Elsam, sempat mengusulkan agar tata kelola konten diperbaiki. Perusahaan platform media sosial diberikan kewenangan memoderasi konten, sedangkan pemerintah cukup menjadi lembaga pembanding. Namun, usulan ini tidak mengarah pada diskusi yang mendalam.

Senior Teaching Fellow Monash University Malaysia Asha Rathina Pandi berpendapat, upaya pemerintah untuk mengendalikan konten di media sosial cenderung terjadi secara global. Upaya ini biasanya banyak terjadi di negara otoriter dan semiotoriter.

”Kalaupun kini marak terjadi permintaan penghapusan konten dari pemerintah di luar dua bentuk negara itu, kami mengamati biasanya pemerintahnya mengatasnamakan menjaga harmoni di masyarakat,” ujarnya.

Sebelumnya, Direktur Jenderal Aplikasi dan Informatika Kementerian Komunikasi dan Informatika Semuel Abrijani Pangerapan mengatakan, perubahan kedua UU No 11/2008 sudah selaras dengan UU No 1/2023 tentang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).

Beberapa substansi dalam perubahan kedua UU ITE merupakan adopsi dari UU KUHP sekaligus memberikan detail dari UU ITE yang lama. Sebagai contoh Pasal 27A UU ITE yang berkaitan dengan perbuatan sengaja menyerang kehormatan atau nama baik orang lain dengan cara menuduh suatu hal supaya diketahui umum dalam bentuk informasi elektronik.

https://www.kompas.id/baca/ekonomi/2024/01/19/permintaan-penghapusan-konten-di-media-sosial-menguat

Popular Posts