Stres Jadi Peluang, Bisnis Dupa pun Makin Moncer


Gelisah. Hal ini dirasakan Linda Lim ketika tidak menemukan dupa yang modelnya menarik. Bagi dia, membakar dupa memberikan ketenangan tersendiri seperti mengatasi penat dan mendapatkan ketenangan. Dimulai dari proses mengambil dupa, membakarnya, kemudian melihat pergerakan asap yang bergerak di atas stik dupa, menjadi 'healing' Linda.

Tak merasa cocok dengan dupa yang ada, hal inilah yang membuat Linda akhirnya memutuskan untuk memiliki bisnis dupa. Sejak akhir 2020, Linda akhirnya berusaha membuat dupa sendiri dan menelurkan Dhoopa Living. "Dulu aku rasa susah milih tempat dupa yang estetik, makanya kepikiran buat tempat dupa yang unik dari asbak, kayu dan plastik daur ulang," ujar dia kepada Medcom.id.

Sebagai business owner, dia melakukan semuanya sendiri, mulai dari packing sampai dengan foto produk. Tak hanya itu, dia harus membawa sendiri produknya ke jasa logistik seperti JNE atau Ninja Xpress karena pemesanan produk yang di bawah ketentuan containment dari e-commerce. Menurut dia, minimal containment sulit dipenuhi sebagai pebisnis pemula, seperti penjualan mencapai 10 barang dalam sekali pengiriman. Perusahaan jasa logistik bisa menjemput barang dagangan jika memenuhi minimal containment tersebut.

Daur ulang plastik

Oleh karena itu, untuk meminimalisir tenaga penjualan, dia pun membayar pembuat sampah daur ulang untuk membuat 100 buah tempat dupa dari daur ulang plastik setelah melihat kursi dan meja yang dibuat dari sampah daur ulang. Desain tempat dupa ini dibuat semenarik mungkin, meskipun tak dikerjakan sendiri.

Namun untuk bahan stik dupa, dia menggunakan bahan baku tumbukan kayu taharu. Kemudian hasil tumbukan direkat dengan menggunakan perekat alami untuk kemudian dicelup dengan sedikit alkohol agar menyatu. Semua bahan baku stik dupa ini dibuat secara hand made. Dupa pun bisa digunakan untuk berbagai kegiatan seperti olahraga yoga, nonton drama korea, baca buku, melukis serta kegiatan lainya seperti makan bersama keluarga.

"Dupa jadi teman aroma. Bisa buat masak pakai aroma dupa biar gak bau (masakan), habis mau tidur pake dupa," jelas dia.

Bentuk dupa pun beraneka rupa, ada yang berasal dari stik, batang, serta kerucut. Bahkan ada asap dupa yang memenuhi asbak sehingga asapnya tak memenuhi ruangan kamar. "Dupanya enggak panjang biasanya paling common yang stik kan ya, ini juga ada kayu, kalau di ruangan ber-AC dia akan mati sendiri dalam 90 menit," kata dia.

Dirinya pun sempat melakukan pameran di weekend market untuk melihat respons masyarakat. Responnya cukup bagus karena penggemar dupa bisa merasakan aromatherapy yang berbeda-beda secara langsung. "Kemarin di market responsnya oke, karena mereka belajar membedakan jenis aromatherapy dari dupa," jelas dia.

Penjualan naik turun

Linda bercerita, penjualan dupa kerap naik turun. Bisnis dupa diakuinya sempat naik daun ketika pandemi covid-19. Saat itu, transaksi online sedang marak, namun harus kembali turun saat PPKM dibuka pemerintah. Selain berjualan online, penjualan juga dilakukan dengan cara consignment (titip barang), yakni dengan menjual produk dupa di beberapa tempat di Jakarta Barat.

Selain membuat sendiri, Linda juga menjual dupa dari Nepal yang memiliki aroma khas. Bisnis ini sudah menjadi full time job bagi Linda Lim, yang sempat bekerja di sebuah copywriter sebuah majalah untuk ekspatriat di daerah Kemang, Jakarta Selatan. Dia juga pernah kerja di sebuah hotel di Bali. "Pas pandemi stop, dari hobi sendiri jadi full time job," ungkap dia.

Dia berusaha menjual produk dupa dengan level premium karena banyak yang menjual dupa, namun tak memiliki kualitas yang baik dan unik. "Jualan di online banyak yang jual juga. Aku juga sempat trial (beli) tapi kurang sreg. Aku menawarkan bentuk yang unik bisa dipakai dan bisa jadi pajangan," kata dia.

Sasar penyuka traveling

Dhoopa Living juga menyasar kalangan penyuka traveling. Apalagi setelah PPKM dibuka, banyak orang mulai bepergian atau traveling. Untuk menyiasatinya dia mulai menjual produk dupa yang bisa dibawa untuk berpergian, karena asapnya tidak terlalu tebal sehingga masih bisa dibakar di kamar hotel.

"Modelnya biasanya yang asapnya enggak tebal banget, banyak permintaannya untuk orang yang doyan traveling," jelas dia.

Di sisi lain, dia mengatakan banyak konsumennya menggunakan dupa sebagai alat healing untuk mengatasi stres. Healing dengan dupa menjadi alternatif lain selain berolahraga yang bisa dilakukan secara mandiri.

"Banyak merasa ini enak karena ada ritualnya ada juga seperti bersihin bola kristal dengan nyalain dupa," jelas dia.  

Pemakaian dupa bisa dilakukan seminggu sebanyak tiga kali. Namun dia menyarankan agar tak menyalakan banyak dupa dalam waktu yang bersamaan.

"Pemakaian bebas sih. Ada juga tiap malam misalnya orang suka baca buku coba nyalakan lilin terus bakar dupa. Mau kumpul sama keluarga juga bisa dia mau nyalain jadi enggak ada batas berapa kali, asal jangan nyalakan 10 stik asapnya kebanyakan," jelas dia.

Sosial media jadi alat promosi

Linda mengaku menggunakan sosial media dan bazar sebagai alat promosi. Media promosi yang digunakan adalah instagram dan e-commerce. Banyak konsumen baru dari instagram yang penasaran dengan bentuk dupa yang unik. Sedangkan promo secara offline lebih kepada upaya memperkenalkan jenis aroma dupa yang berbeda-beda.

"Market-nya usia 20 sampai 35 tahun, mereka aware buat lifestyle, atau buat kado," jelas dia.

Di masa mendatang, dirinya akan melakukan promosi penjualan secara business to business (B2B) untuk tempat yoga, perhotelan, Wedding Organizer (WO), dan tempat spa. Promosi secara B2B lebih efektif untuk menjangkau penjualan.

Identik dengan agama

Menurut Linda, dupa tak identik dengan agama tertentu. Bahkan ritual seperti membakar dupa ada di beberapa agama seperti Budha, Islam, dan Katolik. Lagipula, di era masyarakat urban, kegiatan membakar dupa identik dengan healing masyarakat yang mengalami stres tinggi.

"Jadi bakar dupa dari zaman dulu sudah ada karena identik sama ritual keagamaan. Kalau sekarang buat relaksasi, jadi universal, jadi tren orang kota," jelas dia.

Adapun untuk harga, dia mengatakan kisaran paling mahal sebesar Rp169 ribu. Sementara harga lima buah stik dimulai dari Rp32 ribu sampai Rp209 ribu. Sampai saat ini Dhoopa Living belum menyasar pasar ekspor meskipun sudah ada beberapa konsumen berusaha membawa produk ini untuk bersekolah di luar negeri. "Sempat ada yang bawa dupa ini buat sekolah ke Prancis. Tapi untuk serius jualan ke ekspor masih belum," kata dia.

Persoalan hak cipta

Ada suka, pasti ada duka. Hal ini juga pernah dialaminya. Linda mengungkapkan, persoalan hak cipta juga kerap menjadi masalah bagi pelaku UMKM. Dia bercerita pernah memesan 100 tempat dupa kepada pengrajin yang kemudian malah dicetak ulang untuk pemesan yang berbeda. Kemudian ada juga yang berusaha membeli produknya untuk dipelajari dan dijual dengan harga yang lebih murah.

"Desain pemesanan dijual ke orang lain juga ada. Ada juga yang beli dia cetak untuk dipelajari dengan jual murah, tapi rejeki orang berbeda-beda, dia jalan sendiri aku jalan sendiri. Dari sisi konsumen tetap beda walaupun look sama, finishing-nya beda, tapi enggak apa-apa biar rejekinya masing-masing," pungkas dia.

Sumber:https://www.medcom.id/ekonomi/entrepreneurship/yNL3QLvK-stres-jadi-peluang-bisnis-dupa-pun-makin-moncer

Popular Posts