Branding Diri di Media Sosial, Antara Asli dan Palsu


Di era digital, setiap orang terutama pengguna media sosial berbondong-bondong membangun citra diri. Entah ingin memperlihatkan dirinyanya yang asli atau palsu. Dalam dunia komunikasi terdapat istilah membangun avatar, yakni membangun kesempurnaan diri yang tidak ada di dunia nyata.

Novin Farid Setyo Wibowo, S.Sos., M.Si dosen Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) mengatakan bahwa penting atau tidaknya membangun citra diri tergantung pada kebutuhan dan tujuan masing-masing individu. Ada orang yang membangun citra diri untuk memperluas jejaring, memperbanyak relasi, hingga meningkatkan kepercayaan publik terhadap dirinya.

“Jadi, seseorang tersebut ingin dirinya diketahui oleh banyak orang bahwa ia memiliki kemampuan atau di taraf kesuksesan tertentu. Selain itu juga berupaya mendapatkan kepercayaan publik,” katanya.

Branding melalui media sosial dilakukan karena tiap orang bisa mengetahuan sedikit banyak kepribadian orang lain hanya dengan melihat media sosialnya. Namun seperti dua mata pisau, hal ini juga kerap menjadi ajang pamer atau flexing. Tidak menutup kemungkinan, citra diri yang dimunculkan bukanlah yang sebenarnya, melainkan yang diharapkan atau palsu.

“Oleh karena itu, munculah istilah manusia-manusia plastik. Yaitu manusia yang menampilkan hal yang tidak sebenarnya atau palsu,” ucap Novin.

Menurut Novin, pencitraan dan citra diri ini merupakan dua hal yang berbeda. Pencitraan diri ialah upaya dengan sengaja mencitrakan dirinya agar dikenal publik sesuai yang diinginkan, entah itu merupakan dirinya yang asli atau palsu. Sedangkan citra diri adalah citra yang muncul dari diri masing-masing orang tanpa didesain atau tanpa di sengaja.

“Semisal anda aslinya sangat cerewet, namun orang-orang menilai Anda sebagai anak yang pendiam karena itu citra diri yang muncul pada diri Anda,” jelasnya.

Novin pun memberikan beberapa tips bagi yang baru memulai atau sedang berusaha membangun citra diri. Pertama adalah jujur, sebab jujur merupakan hal yang menyenangkan. Dalam teori dramaturgi, manusia pada dasarnya memiliki panggung depan dan panggung belakang. Panggung depan ialah hal yang dimunculkan ke publik, sedangkan panggung belakang adalah hal yang sebenarnya.

“Namun sebaiknya kita menunjukkan diri kita yang sebenarnya di panggung depan. Jangan melakukan kebohongan didepan publik,” tambahnya.

Kedua, berteman dengan orang-orang yang dianggap tepat. Karena kita dan masa depan kita tergantung lingkup pertemanannya, baik di dunia nyata maupun di media sosial. Termasuk orang-orang yang dikuti di media sosial dan dianggap mampu membantu nilai hidup kita.

Ketiga, mematikan media sosial yang tidak berguna. Karena saat ini, manusia telah overload information yang menyebabkan terjadinya distraksi. Manusia saat ini hidup di banyak alam. Ada alam nyata, alam tidur dan alam media sosial. Di alam media sosial ini, manusia masuk ke dalam banyak dimensi ruang dan waktu. Hal ini menyebabkan masalah-masalah pada manusia seperti kepribadian ganda karena banyaknya media sosial yang digunakan. Di beberapa negara maju, mereka berani membatasi media sosial yang bisa masuk dan diakses di negaranya.

Keempat, jangan berlebihan. Personal branding ialah identitas yang melekat pada diri seseorang. Kata kunci sebuah branding yang pertama ialah harus memiliki positioning yang jelas. Seseorang harus bisa memposisikan diri sendiri dan jangan sampai sama dengan yang sudah ada. Kedua ialah diferensiasi atau pembeda. Jika kita memiliki positioning yang jelas serta difirensiasi, maka akhirnya akan menemukan Unique Selling Point (USP). USP merupakan sesuatu yang unik yang menjadi nilai jual seseorang.

“Sedikit berbeda jauh lebih baik dari pada sedikit lebih baik. Berbeda itu pasti baik dan akan diingat oleh orang. Namun jika kamu berusaha lebih baik dibanding yang ada, kamu tidak akan diingat,” tandasnya mengakhiri.

Sumber:https://suaramuhammadiyah.id/2023/07/04/branding-diri-di-media-sosial-antara-asli-dan-palsu/

Popular Posts