Dosen UI Ungkap Media Sosial Jadi Praktik Jalan Tikus untuk Intoleransi

 Diskusi Forum Kebangsaan UI. DOK UI

Tren berinteraksi di era disrupsi saat ini banyak terjadi di media sosial dibandingkan media massa. Media sosial menjadi salah satu elemen konstruksi ideologi hingga aktualisasi dari ideologi negara. Terutama dalam konteks masyarakat kontemporer tanpa perlu memilah generasi muda dan senior.

“Pada 80-an ketika gaung internet membuka ruang demokrasi, pemberdayaan, pembebasan, pendidikan, itu masih kencang sekali. Orang melepaskan kelas, identitas, serta judgement dan stereotipe sosial. Lalu pada 2000-an mulai masuk narasi distopia yaitu adanya disrupsi informasi berupa hoaks dan disinformasi,” kata peneliti dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Indonesia (UI) Endah Triastuti dalam diskusi Forum Kebangsaan UI bertajuk “Penyusunan Peta Jalan Strategi Kebudayaan untuk Penguatan Nilai-Nilai Kebangsaan” dalam keterangan tertulis, Kamis, 31 Maret 2022.

Dalam penelitiannya, Endah menemukan internet bukan utopia dan distopia. Tetapi ke arah heterotopia atau jalan tikus.

“Yang dimaksud jalan tikus ini sifatnya netral. Heterotopia ini dilakukan baik yang mengusung intoleransi ataupun sebaliknya. Ini yang saya garis bawahi bahwa media sosial menunjukkan praktik-praktik jalan tikus," kata Endah.

Dia menjelaskan mereka yang satu komunitas justru mengintip dan meminjam jargon dari kelompok berseberangan. "Sehingga sebenarnya kita semuanya baik yang pro dan kontra tersebut menggunakan ruangan dengan membentuk allied phenomenon,” kata dosen Departemen Ilmu Komunikasi FISIP UI.

Endah menuturkan ada beberapa tagar yang dibuat seolah-olah ramah terhadap nilai-nilai kebangsaan, tetapi ternyata disandingkan dengan tagar-tagar yang sebetulnya polanya berbeda. Tetapi semua tagar ini ada di dalam satu postingan.

"Sehingga jika orang yang tidak cukup punya literasi seolah-olah tagar yang berseberangan tersebut ramah terhadap nilai-nilai kebangsaan,” kata Endah.

Dia mengatakan kelompok-kelompok yang kontra nasionalisme, tradisi lokal, serta wacana kebangsaan sudah masuk hampir ke seluruh komunitas-komunitas dan lapisan sosial masyarakat. Mulai kelas elite hingga kelas bawah menggunakan jalan tikus dengan berbagai cara melalui arisan, pelatihan, dan lain lain.

“Yang kesemuanya diproduksi menjadikan narasi kemudian menjadi wacana-wacana dimasukkan ke ruang publik melalui jalur tikus dengan memanfaatkan media sosial dengan bahasa-bahasa menarik, logika-logika yang sederhana tetapi orang mudah menerima. Mereka mengakumulasi kapital sosial, kapital simbolik, kapital kultural yang kemudian dikonversi menjadi kapital ekonomi untuk ditawarkan kepada audience dengan memanfaatkan jalur tikus tersebut,” papar dia.

Endah menjelaskan untuk diterima dan meyakinkan publik terhadap sebuah pemahaman perlu mengikuti cara mereka berkomunikasi. Dia menyebut perguruan tinggi selama ini selalu memaparkan hasil penelitian di jurnal yang terindeks Scopus.

Nyatanya hal itu terlalu tinggi. Sebab, masyarakat tidak membaca jurnal atau hasil penelitian yang ditulis dari Scopus.

"Mereka lebih membaca media sosial dan ini menarik. Perlu adanya strategi untuk meningkatkan literasi dan proses penyadaran masyarakat terhadap muatan nilai-nilai kebangsaan ini melalui media sosial,” ujar dia.

Mantan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Whisnutama menyebut peran digital tidak sesederhana yang kita lihat hari ini. Sebab, ada peran algoritma, rekomendasi, dan lainnya.

"Contoh jika kita buka e-commerce, YouTube, Go-food, atau apa pun, kita boleh punya makanan yang mempunyai rasa paling enak tapi jika mesin algoritma tidak merekomendasikannya kira-kira apakah akan dibeli makanan tersebut? Atau punya konten paling kece sedunia, tapi jika mesin YouTube tidak merekomendasikannya apakah akan dilihat?" tutur dia.

Dia menyebut Indonesia membutuhkan kedaulatan digital. Sebab, saat dikuasai data, maka perilaku akan tergantung oleh platform-platform digital itu termasuk budaya sendiri.

"Saat ini, teknologi Artificial Intelligence sedang bangkit untuk menjual sesuatu sebagai bagian dari marketing itu bagus untuk ekonomi digital, tetapi ketika teknologi ini sudah memengaruhi orang untuk membeli barang atau sesuatu itu juga bisa memengaruhi budaya, sosial, politik, dan bahkan ideologi,” kata dia.

(REN)

Sumber : https://m.medcom.id/pendidikan/news-pendidikan/8N0GdBOK-dosen-ui-ungkap-media-sosial-jadi-praktik-jalan-tikus-untuk-intoleransi

Popular Posts